Salam Semangat Readers...
Hari ini luar biasa anugerah Tuhan ya atas hujan yang membasahi bumi kita. Itu pertanda berkatnya melimpahi kita. Oh iya, aku mau berbagi lewat tulisan ini tentang "Temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK) atas Penyimpangan Kontrak Kerjasama TPK Koja dan JICT" yang sekarang ini menguak fakta dan kebenarannya.
Seperti yang kita ketahui, Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas Koja adalah asset negara paling terbesar dan memiliki keuntungan dalam pendapatan negara. Hal ini dibuktikan dengan, pelabuhan kita menjadi tempat transaksi eksport import secara langsung baik dalam dan luar negeri. Tanpa ada perantara atau transiter pelabuhan lain.
Luasnya Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas Koja |
Asset negara seharusnya dikelola anak bangsa memiliki keterbukaan akan sistem kontrak dan managemen keuangan. Setelah sekian bulan saya mengikuti dan menyaksikan perkembangan masalah JICT dan Terminal Peti Kemas Koja yang kini menjadi kontroversi membuat miris. Bak ibarat bisul yang mau pecah, TPK Koja kini sedang memasuki tahap pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena ditemukannya sejumlah fakta akan sindikat kontrak kerjasama yang tidak berlandaskan undang-undang.
Sudah jelas semua perpanjangan kontrak asset negara diatur dalam undang-undang dan sesuai ijin konsesi kepada Menteri Perhubungan. Namun perpanjangan kontrak yang ditandatangani Pelindo II dan Hutchison Port Holding dilakukan tidak sesuai dengan hukum pelayaran.
Kesejahteraan rakyat dan asset negara menjadi taruhannya, jika kita membiarkan para sindikat berusaha keras menyembunyikan segala bukti dan fakta. Kita sebagai anak bangsa berhak menelusuri semua sindikat ini. Dengan bantuan BPK untuk melakukan audit investigasi diharapkan mendapat hasil yang dapat membuka mata seluruh rakyat Indonesia. Dengan menuntaskan pembenahan BUMN yang menangani pelabuhan di Indonesia. Setelah fakta dan bukti terungkap diharapkan menegakkan hukum seadil-adilnya untuk menuntaskan kasus-kasus yang merugikan negara.
Sungguh penemuan yang mencengangkan, BPK RI telah menyelesaikan audit investigatif terhadap proses pembangunan TPK Koja Jakarta Utara kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II paling sedikit sebesar USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun. Sebelumnya, JICT sudah mencatat kerugian negara sekitar Rp 4,08 triliun. Jika dijumlahkan indikasi akan perpanjangan kontrak JICT dan TPK Koja kepada Hutchison kerugian negara sebesar Rp 6 triliun. Angka yang sangat fantastis sekali ya. Uang sebanyak ini kalau di upayakan bagi kesejahteraan rakyat akan lebih berharga. Tapi apakah hasil investigasi BPK ini menyidak langsung orang-orang yang terlibat dengan sindikat ini?.
Hasil dari investigasi BPK, terdapat beberapa fakta dan bukti perpanjangan perjanjian kerjasama dan pengoperasian JICT tetap dilaksanakan meskipun tidak tercantum dalam RJPP (Rencana Jangka Panjang Perusahaan) dan RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan). Rencana perpanjangan kontrak TPK Koja pun tidak diinfokan secara terbuka kepada pihak pemangku kepentingan dalam laporan tahunan 2014. BPK mendapat angka tersebut dari hasil penghitungan kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar USD 137,47 juta. Kemudian, pembayaran biaya konsultan keuangan kepada Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta, atau setara Rp21,21 miliar.
Semenjak Dinas Tenaga Kerja (DisnakerTrans) mengeluarkan surat menyatakan JICT telah melanggar aturan atas outsourcing. Serikat Pekerja Container yakni Operator RTGC & Tallyman mengakibatkan mogok dan pemutusan hak kerja sepihak mulai dari Januari 2018. Dimana para serikat pekerja sudah berjuang mengerjakan segala proses pekerjaan 24 jam dalam 7 hari seminggu. Menyatakan Manajemen JICT melanggar pasal 65 ayat (8) Undang-Undang 13 tahun 2003.
Dimana sejak perjanjian kontrak kerjasama, JICT selaku anak usaha Pelindo II, harus tunduk pada peraturan. Jangan ada lagi usaha mengakali untuk mengejar keuntungan perusahaan semata. Karena faktanya di lapangan, Pelindo II mengangkat 200 lebih tenaga outsourcing pada 2014. Dan di tahun 2018 Pelindo II bekerjasama dengan vendor untuk melakukan PHK pada 250 tenaga kerja outsourching.
Bagaimana, apakah kita masih terdiam dengan terkuaknya fakta dan bukti dari BPK akan TPK Koja?. Mau sampai kapan kerugian itu menumpuk akan perpanjangan kontrak kerjasama Koja dan JICT oleh Pelindo II dan Hutchison Port Holding yang tidak jelas klausalnya berdasarkan undang-undang. Reminder banget buat petinggi-petinggi negara untuk mengusut dan menindaklanjuti kasus ini hingga tuntas. Melalui hasil audit BPK seperti gayung bersambut air untuk mengembalikan kehormatan BUMN lewat penyelamatan TPK Koja dan JICT.
Mudah-mudahan terkuaknya bukti dan fakta ini akan menjadi titik terang transparansi masalah ketenagakerjaan, asset negara dan pendapatan negara terselesaikan dengan baik.
Sudah jelas semua perpanjangan kontrak asset negara diatur dalam undang-undang dan sesuai ijin konsesi kepada Menteri Perhubungan. Namun perpanjangan kontrak yang ditandatangani Pelindo II dan Hutchison Port Holding dilakukan tidak sesuai dengan hukum pelayaran.
Terminal Petikemas Koja
Pasal 82 ayat 4 UU No.17 tahun 2008 yang isinya sebagai berikut : Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi dan lain-lain kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.
Pasal 344 (2) UU No.17 tahun 2008 yang isinya sebagai berikut : dalam waktu paling lama 3 tahun sejak UU ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah dan BUMN wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU.
BPK Temukan Fakta dan Bukti Sindikat Kontrak Kerjasama TPK Koja dengan Hutchison Port Holding
Kesejahteraan rakyat dan asset negara menjadi taruhannya, jika kita membiarkan para sindikat berusaha keras menyembunyikan segala bukti dan fakta. Kita sebagai anak bangsa berhak menelusuri semua sindikat ini. Dengan bantuan BPK untuk melakukan audit investigasi diharapkan mendapat hasil yang dapat membuka mata seluruh rakyat Indonesia. Dengan menuntaskan pembenahan BUMN yang menangani pelabuhan di Indonesia. Setelah fakta dan bukti terungkap diharapkan menegakkan hukum seadil-adilnya untuk menuntaskan kasus-kasus yang merugikan negara.
Sungguh penemuan yang mencengangkan, BPK RI telah menyelesaikan audit investigatif terhadap proses pembangunan TPK Koja Jakarta Utara kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II paling sedikit sebesar USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun. Sebelumnya, JICT sudah mencatat kerugian negara sekitar Rp 4,08 triliun. Jika dijumlahkan indikasi akan perpanjangan kontrak JICT dan TPK Koja kepada Hutchison kerugian negara sebesar Rp 6 triliun. Angka yang sangat fantastis sekali ya. Uang sebanyak ini kalau di upayakan bagi kesejahteraan rakyat akan lebih berharga. Tapi apakah hasil investigasi BPK ini menyidak langsung orang-orang yang terlibat dengan sindikat ini?.
Kerugian perpanjangan kontrak TPK Koja |
Hasil dari investigasi BPK, terdapat beberapa fakta dan bukti perpanjangan perjanjian kerjasama dan pengoperasian JICT tetap dilaksanakan meskipun tidak tercantum dalam RJPP (Rencana Jangka Panjang Perusahaan) dan RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan). Rencana perpanjangan kontrak TPK Koja pun tidak diinfokan secara terbuka kepada pihak pemangku kepentingan dalam laporan tahunan 2014. BPK mendapat angka tersebut dari hasil penghitungan kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar USD 137,47 juta. Kemudian, pembayaran biaya konsultan keuangan kepada Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta, atau setara Rp21,21 miliar.
Semenjak Dinas Tenaga Kerja (DisnakerTrans) mengeluarkan surat menyatakan JICT telah melanggar aturan atas outsourcing. Serikat Pekerja Container yakni Operator RTGC & Tallyman mengakibatkan mogok dan pemutusan hak kerja sepihak mulai dari Januari 2018. Dimana para serikat pekerja sudah berjuang mengerjakan segala proses pekerjaan 24 jam dalam 7 hari seminggu. Menyatakan Manajemen JICT melanggar pasal 65 ayat (8) Undang-Undang 13 tahun 2003.
Kerugian mencapai 6 triliun |
Dimana sejak perjanjian kontrak kerjasama, JICT selaku anak usaha Pelindo II, harus tunduk pada peraturan. Jangan ada lagi usaha mengakali untuk mengejar keuntungan perusahaan semata. Karena faktanya di lapangan, Pelindo II mengangkat 200 lebih tenaga outsourcing pada 2014. Dan di tahun 2018 Pelindo II bekerjasama dengan vendor untuk melakukan PHK pada 250 tenaga kerja outsourching.
Bagaimana, apakah kita masih terdiam dengan terkuaknya fakta dan bukti dari BPK akan TPK Koja?. Mau sampai kapan kerugian itu menumpuk akan perpanjangan kontrak kerjasama Koja dan JICT oleh Pelindo II dan Hutchison Port Holding yang tidak jelas klausalnya berdasarkan undang-undang. Reminder banget buat petinggi-petinggi negara untuk mengusut dan menindaklanjuti kasus ini hingga tuntas. Melalui hasil audit BPK seperti gayung bersambut air untuk mengembalikan kehormatan BUMN lewat penyelamatan TPK Koja dan JICT.
Mudah-mudahan terkuaknya bukti dan fakta ini akan menjadi titik terang transparansi masalah ketenagakerjaan, asset negara dan pendapatan negara terselesaikan dengan baik.
1 komentar:
sangat berguna!
Posting Komentar